Chapter 2: Yamato Rei



Bruk!

Rei hanya bisa menatap pasrah setumpuk surat cinta yang berjatuhan dari rak sepatunya. Hari ini pun ia mendapat segunung surat pernyataan cinta dari banyak siswi. Tidak hanya kelas 1, tapi kelas 2 dan 3 pun ikut melakukannya. Beginilah nasib memiliki wajah cool, memiliki banyak penggemar dan stalker. Tiap pagi harus repot-repot mengambil surat-surat cinta yang ditujukan padanya, dibaca dengan perasaan setengah hati setibanya di rumah. Ia menggaruk kepalanya frustrasi, secepatnya ia harus membawa surat-surat itu pergi dan menuju ke kelas sebelum ia akan berhadapan lagi dengan guru kedisiplinannya itu. Saat ia akan mengumpulkan surat-surat itu, sebuah suara mengejutkannya.

“Sugoii!! Kau hebat sekali bisa mendapat banyak surat penggemar!”

Chinou Yuuri sedang berdiri di belakangnya dengan tatapan kagum. “Sugoii na… kau itu terkenal sekali di sini ya?” tanya gadis itu dengan senyum lebar di wajahnya. Namun melihat wajah bingung Rei, akhirnya gadis itu tersadar dari kekagumannya. “A-ah… gomen. Ohayou,” ucap Yuuri gugup.

Melihat Yuuri yang menjadi salah tingkah, Rei tidak dapat menahan diri untuk tersenyum, “Ohayou, Chinou-san.”

Yuuri langsung cemberut mendengar itu, “Mhuu… sudah kubilang panggil aku ‘Chii’!”

“Chii? Tapi aku bisa saja salah ucap menjadi chichai (kecil), lho,” ucap Rei heran.

“Chinou ‘kan memiliki arti ‘kepandaian’, jadi jangan samakan dengan chichai,” ucapnya masih cemberut.

Melihatnya cemberut, membuat hati Rei terasa ringan. ‘Maji kawaii na, kono onna…’ pikirnya. “Saa ne, harus kuapakan surat-surat ini…” ucap Rei mulai mengumpulkan surat-surat cinta tersebut.

“Apa yang biasanya kau lakukan setelah mendapatkan surat-surat ini?”

Rei hanya mendesah, “Hanya kubaca… lalu kusimpan di lemari… setelah itu… ditemukan oleh ibuku dan dibuang tanpa sepengetahuanku,” melihat wajah Yuuri yang terlihat marah, membuat laki-laki itu bingung. “Ee? Doushita no?”

Yuuri hanya menggeleng dengan wajah cemberut, lalu pergi meninggalkannya tanpa bicara apa-apa.

“Ee!? Chino—Chii?! Hei!! Kenapa pergi?!” panggil Rei semakin bingung. Namun akhirnya ia mengumpulkan terlebih dahulu surat-surat tersebut karena bel masuk sekolah telah berbunyi.





***






“Sudah kubilang! Aku mengumpulkan surat-surat sialan ini! Kau tidak percaya juga walau ada bukti sebanyak ini, sensei?!” sahut Rei kesal, ingin rasanya ia menggebrak meja. Narahashi-sensei lagi-lagi menahannya masuk dan kali ini membawa laki-laki malang tersebut ke ruangannya.

Narahashi-sensei hanya menatapnya datar, “Saya tahu kau popular, setidaknya walaupun kau datang lebih cepat, utamakan untuk menaruh tasmu di kelas terlebih dahulu! Dasar, kau tidak bosan berurusan dengan saya setiap pagi, ya!”

“Iiya! Aku bosan dimarahi olehmu! Mou ii! Biarkan aku masuk kelas!”

Tiba-tiba Narahashi-sensei memberikan sebuah surat. “Kali ini tidak ada kesempatan. Kau harus pulang sekarang. Setidaknya kali ini kau akan berpikir untuk terlambat lagi. Berikan surat ini pada orang tuamu,” Rei melirik surat tersebut.

“Nani kore?”

“Surat panggilan orang tua. Jangan protes, kau tahu kenapa saya memanggil orangtuamu.”

Rei berdecak dan mengambil kasar surat tersebut kemudian keluar dari ruangan kedisipilan. Ia melihat murid-murid dari kelasnya sedang berjalan menuju ke kelas memasak. Melihat Rei yang berjalan kearah pintu sekolah sambil membawa tas, membuat sahabatnya, Ryuto menghampirinya. “Oi, doushita no, omae? Kenapa kau membawa tas?” tidak menjawab, namun Rei menunjuk ke ruang kedisiplinan. Ryuto mengangguk paham.

“Maa… ii da yo. Toh hari ini tidak ada test. Usahakan besok jangan sampai terlambat,” ucapnya sambil menepuk pundak Rei.

“Tadi pun aku tidak terlambat! Tapi surat-surat itu yang membuatku ditahan Narahashi-sensei!” sahutnya kesal. Ryuto hanya menggeleng.

Saat Rei akan menuruni tangga, mendadak seseorang berteriak, “Kyaaaa!!! Chii-chan!!!”

Sontak saja semua mata menuju kearah Yuuri yang mendadak mimisan. Gadis itu segera mengeluarkan saputangannya dan menahan darah yang mengalir dari hidungnya. Tanpa sadar, Rei langsung menarik tangan Yuuri, membawa gadis itu ke UKS. Tentu saja Yuuri merasa terkejut, namun tidak memberikan perlawanan.

Sampainya di UKS, Rei menerangkan ke dokter apa yang terjadi pada Yuuri sedangkan gadis itu merebahkan diri di tempat tidur. Tak lama, Rei menghampiri Yuuri. “Dokter bilang sebaiknya kau pulang. Mungkin karena udara terlalu panas, sehingga kau menjadi mimisan,” namun Yuuri menggeleng.

“Kau sadar tidak kalau kau itu sedang mimisan! Sebaiknya kau pulang dan jangan menambah kesulitan untuk orang lain!” bentak Rei, namun ia segera menyadari apa yang baru saja ia lakukan.

“…Gomen…”

Yuuri hanya terdiam, masih agak terkejut karena Rei membentaknya. Melihat wajah lelaki itu yang terlihat frustrasi, gadis itu memahami suatu hal.

“…Aku mau pulang,” saat ia akan melangkah pergi, sebuah tangan mungil menarik ujung bajunya. Rei melihat Yuuri memegang ujung bajunya dengan wajah pucat. Hati Rei pun luluh melihat wajah gadis mungil tersebut.

Ia memegang tangan Yuuri dengan lembut, “Nani?”

Mata cokelat tua gadis itu menatap mata cokelat muda Rei, “Kyou wa… gomen ne.”

Rei tersenyum lembut dan menggeleng pelan, “Ii yo. Dakara, pulang dan istirahatlah.”

“…Maukah kau pulang bersamaku?”

Pertanyaan itu membuat Rei terkejut, “Heh?!”






***




Tidak pernah terbiasa pergi bersama perempuan membuat Rei merasa aneh. Dia yang biasanya pulang bersama Ryuto, kini harus pulang bersama dengan Yuuri. Tidak hanya pulang bersama, ia pun juga menggendong Yuuri karena gadis itu belum terlihat cukup kuat untuk berjalan sendiri. “…Kau tidak kuat dengan panas ya?” tanya Rei heran. Sepertinya tadi pagi gadis itu terlihat baik-baik saja.

Yuuri menggeleng, “Tidak pernah ada masalah dengan panas, hanya saja… hari ini rasanya terlalu panas.” Rei hanya mengangguk.

“Yah, kau benar. Aku pun telah berkeringat.”

Hening untuk sesaat. Tidak ada yang berbicara satu sama lain. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Ne.”

Rei menoleh ke belakang, mendekatkan telinganya pada Yuuri. Gadis itu menunjuk ke seberang jalan. “Rumahku menyebrangi jalan ini.”

“Souka,” Rei pun segera ikut menyebrang bersama penyebrang lainnya sebelum lampu lalu lintas kembali berwarna hijau.

Banyak gadis yang sepertinya adalah icon Harajuku melihat kearah mereka dengan tatapan kagum, iri, entahlah. Banyak sekali yang menatap mereka membuat Yuuri merasa malu dan menenggelamkan wajahnya di bahu Rei. Ingin rasanya untuk segera tiba di rumah.

“Oi, Chii. Ada 3 jalan yang berbeda. Dimana jalan yang menuju rumahmu?” tanya Rei berhenti sejenak.

“Etto na… jalan tengah,” ucap Yuuri yang terbangun dari lamunannya. Setelah berjalan sebentar, akhirnya sampailah mereka di rumah Yuuri yang terbilang cukup besar namun dengan gaya yang tradisional.

Rei menurunkan Yuuri dari punggungnya, melihat gadis itu tersenyum lembut padanya. “Arigatou ne, Yama-chan. Maaf merepotkanmu.” Laki-laki itu hanya menggeleng.

“Iie. Ii desu yo. Cepatlah sembuh,” tanpa sadar Rei mengelus kepala Yuuri, membuat gadis itu agak tersentak karena terkejut.

“Ah, etto… uchi wa… doko?” Yuuri mencoba membuat dirinya tidak salah tingkah.

“Ore? Ah, Minato-ku da.”

Mata Yuuri segera melebar mendengar hal itu, ia bahkan tidak bisa merespon saat Rei berpamitan untuk pulang. Rumah Rei berada di Minato-ku sedangkan rumahnya berada di Nakano-ku. Sekolah mereka berada di Shibuya. Bukankah… justru Rei menjauhi jalan rumahnya sendiri?

Yuuri terbawa pikiran, terdiam di depan gerbang rumahnya, melihat sosok Rei yang semakin menjauh.